Bedah Puisi Acara Mengapresiasi Puisi
Memperingati Bulan Sastra
Bedah
puisi pada tanggal 26 April 2017 yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (HMJ PBSI) Universitas
Wisnuwardhana yang dibina oleh Bapak Imam Thobroni S.Pd, diikuti oleh seluruh
mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia serta dosen pengajar Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia ini bertepatan dengan mengenang kematian Chairil Anwar , merupakan acara yang
bertujuan untuk meningkatkan kualitas pengetahuan sastra dan kecintaan terhadap
karya sastrawan Indonesia. Bedah puisi
ini dinarasumberi oleh dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia sendiri
yakni bu Kustyarini S.Pd., S.Psi., M.Pd dan pak Esa Kharisma M.N., S.S., S.Pd,
M.Pd. Saya mencoba menulis hasil apresiasi puisi ini.
Rumahku
Karya: Chairil Anwar
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Kaca jernih dari luar sengaja nampak
Kulari dari gedong lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan
Kemah kudirikan ketika senjakala
Dipagi terbang entah kemana
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Disini aku berbini dan beranak
Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
Jika menagih yang satu
Makna :
Rumahku
dari unggun-timbun sajak
Kaca
jernih dari luar sengaja Nampak
Penyair menganggap bahwa rumah itu seperti api unggun yang dibuat
dari kayu dan ranting untuk mengusir dinginnya malam. Api unggun yang hanya
bersifat sementara memiliki usia yang singkat. Hadirnya api unggun cukup
mengusir dinginnya malam, sebelum berharap pagi datang dengan cahaya mentari.
Seperti itulah makna dari sebuah sajak, petuah, cerita dan kata yang tidak akan
bertahan lama serta tak dapat mengubah rupa diri dan dunia. Peristiwa di dalam
rumah yang selalu nampak jelas, peristiwa berbicara dan makna dari kata
berbicara dengan sendirinya.
Kulari
dari gedong lebar halaman
Aku
tersesat tak dapat jalan
Kemah
kudirikan ketika senjakala
Dipagi
terbang entah kemana
Penyair mencoba
menggambarkan pencarian suasana baru dan dunia baru di luar rumah, tetapi
arahpun tak dapat ditemukan sampai bertemu pada titik kerentaan penyair
menyadari makna hidup. Dalam sajak “dipagi entah kemana” menggambarkan masa
muda yang terlalu sibuk dengan kefanaan serta di isi dengan segala hal yang
sia-sia.
Rumahku
dari unggun-timbun sajak
Disini
aku berbini dan beranak
Rumah
seperti timbunan api unggun yang dapat mengusir dinginnya malam, keluarga
tempat bernaung berbagi kisah, nasihat, cerita tentang kehidupan serta tempat
bersatu bersama istri dan anak.
Rasanya
lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak
lagi meraih petang
Biar
berleleran kata manis madu
Jika
menagih yang satu
Ingin menghabiskan masa tua bersama keluarga karena dimasa muda
penyair menggambarkan bahwa dirinya mencoba berlari dari kehidupan keluarga
yang begitu berarti, namun usia sudah menjemput diri semakin tua renta. Dalam
baris puisi ini seolah penyair ingin terus hidup, merayu Tuhan untuk selalu
panjang umur hingga tidak lagi meraih petang/ kesalahan dalam hidupnya dapat
diperbaiki.
Oleh: Nabila Naulianah
Malang, 22 Mei 2017